Pandemi memicu depresi yang berdampak pada keengganan untuk beraktivitas.

Psikolog klinis Tara de Thouars membenarkan permasalahan psikologis seperti munculnya kecemasan dan kelelahan semakin banyak ketika masuk di era pandemi. Menurutnya, banyak kliennya yang berkonsultasi kepadanya mengalami isu-isu kecemasan.  “Di satu sisi teman-teman harus tetap kreatif, harus tetap optimal, dan tetap produktif. Tapi di sisi lain, ada berbagai kecemasan yang kita alami termasuk kecemasan itu,” jelas Tara dalam acara diskusi virtual.

 

Dalam penjelasan mengenai kecemasan, Tara mengatakan, kecemasan adalah sebuah bentuk respons adanya suatu hal yang terjadi pada tubuh. Tubuh manusia didesain untuk bisa bertahan hidup. Artinya, ada mekanisme yang ada pada tubuh kita yang membuat kita ingin tetap bertahan hidup. Mekanisme itu, kata Tara, terletak pada otak manusia.

 

Dia mengatakan, pada otak terdapat semacam ‘alarm’ yang berfungsi untuk memberikan tanda jika kita berada di situasi yang mengancam pada kita. Alarm yang berfungsi itu termasuk kecemasan. “Saat kita cemas, maka tandanya kita sedang merasa ada hal-hal yang sedang mengancam diri kita. Ancaman itu bisa bermacam-macam, misalnya kegagalan, penolakan, dinilai negatif, mengalami sakit, dikhianati, direndahkan, dan lain-lain yang merupakan ancaman,” ungkap Tara.

 

Oleh karena itu, kita memiliki tugas untuk menghindari ancaman untuk bisa bertahan sebisa mungkin. Sementara, untuk bisa bertahan, kita biasa terus memprediksi situasi dan mencoba untuk memastikan segala hal berjalan dengan aman dan sesuai dengan rencana kita.

 

Kepastian, kata dia, di masa saat ini menjadi hal yang menakutkan dan mencemaskan. Akibatnya, kita jadi lebih mengantisipasi segala sesuatu sampai berlebihan.

 

Kecemasan itu sendiri juga membuat kita membayangkan hal terburuk yang mungkin terjadi. Hal buruk yang belum terjadi, telah kita antisipasi terlebih dahulu. Padahal, kata Tara, semakin kita memprediksi, memastikan, mengantisipas, berekspektasi maka kita akan semakin cemas. “Padahal, kehidupan itu penuh ketidakpastian. Ada banyak hal yang tidak bisa kita cegah, kita antisipasi. Misalnya pandemi, masa depan kita, kesehatan kita sendiri, pekerjaan ini, itu semua tidak bisa kita pastikan,” jelas Tara.

 

Dia mengatakan, saat tubuh kita mengalami kecemasan, maka tubuh kita sedang mengalami mode bertahan hidup. Pada saat itu, tubuh kita akan sering tegang, nafas tersengal-sengal, jantung semakin berdebar kencang, sistem pencernaan dimatikan sehingga asam lambung naik, mulut kering, atau bahkan muntah.

 

Hal yang lebih parah adalah sistem imunitas tubuh menjadi lebih turun. Akibatnya, penyakit menjadi muncul saat kita merasakan kecemasan yang berlebih. Otak juga menjadi semakin waspada karena kita terus berpikir negatif untuk mengantisipasi.

Bagaimana cara mudah mengatasi kecemasan yang muncul? Psikolog klinis Tara de Thouars memberikan beberapa tip yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kecemasan.

Mengembalikan pikiran kita pada masa sekarang dan fakta saat ini.

Kita harus menyadari, hal-hal negatif yang kita pikirkan itu adalah hal-hal yang belum terjadi. Maka, penting bagi kita untuk mengembalikan pikiran kita ke masa sekarang, situasi yang sekarang sedang terjadi dan kenyataan yang saat ini terjadi.

Menjalani yang terbaik.

“Dalam hidup, justru yang butuh kita lakukan adalah menjalani saja. Ketidakpastian itu juga memberikan kita kesempatan dan peluang untuk terus melakukan yang terbaik dan berkembang. Kita jadi punya harapan,” jelas Tara.

Menjaga empati dan rasa kemanusiaan kita.

“Kita rata-rata bekerja dengan orang lain, jadi jangan sampai permasalahan emosi kita membuat kita tidak bisa berempati dan melupakan sisi kemanusiaan,” jelas dia.

Aktualisasi diri.

Dengan mengembangkan diri secara optimal, kita perlu terus berkembang. Tara menyarankan untuk terus menyadari setiap perkembangan sekecil apa pun yang terjadi pada diri kita meski hasilnya belum sesuai yang diinginkan. Sebab itu akan menjadi sebuah tanda bahwa kita sedang berkembang dan menuju kepada hal yang lebih baik lagi. Menurutnya, itu akan membuat kita lebih terdorong lagi berkembang menjadi lebih baik.

Pikiran kecemasan hanya sebuah pengingat bukan sebuah kenyataan.

“Karena kita butuh bertahan hidup, maka otak kita butuh melindungi diri kita dengan memikirkan hal-hal yang mengkhawatirkan. Tetapi ini hanyalah sebuah pengingat saja bahwa kita harus berhati-hati,” ungkap Tara.

Lepaskan hal-hal yang tidak berada dalam kendali kita.

Ada banyak hal-hal yang memang tidak bisa kita kendalikan, misalnya keadaan, orang lain, nasib, bencana, ketidaksempurnaan kita, dan lain-lain. Dengan memasrahkan apa yang tidak bisa kita kendalikan, maka perlahan pula rasa cemas akan pergi.

Berikan dorongan kepada diri sendiri.

Pada saat kita cemas, kata Tara, yang kita butuhkan adalah dukungan dan kita bisa mendukung diri kita sendiri. Artinya, ketika kita sudah bisa berdamai dengan diri sendiri dan kecemasan kita, maka kita baru bisa membuka kunci dari pintu potensi kita yaitu pikiran dan kreativitas tanpa batas.

Dengan berdamai dengan diri sendiri dan kecemasan kita bisa mengoptimalkan segala kelebihan yang kita miliki dan potensi-potensi yang kita miliki. Kita juga bisa mengoptimalkan kualitas-kualitas terbaik kita. “Kita jadi mau menghargai orang lain. Respect baru akan terjadi saat kita tidak lagi memiliki permasalahan emosi kita. Karena ketika kita sedang mengalami permasalahan emosi seperti cemas, tidak percaya diri, dan takut, kita cenderung meminta respect ke orang lain,” jelas Tara.

Terus belajar dan berkembang lebih optimal lagi.

Apa pun pekerjaan kita, kita butuh untuk mengembangkan diri. “Jangan tutupi kita dengan keterbatasan. Jangan biarkan kecemasan kita menghambat kita untuk belajar, berkembang, dan keluar dari zona nyaman,” jelas Tara.

marcos paulo prado/UNSPLASH

FREEPIK

top

Beberapa masalah pada tubuh yang juga mungkin akan muncul karena kecemasan yang berlebih adalah susah tidur dan mudah lelah. Tara mengatakan, sebenarnya, tubuh membutuhkan rileks untuk memasuki fase tidur.

 

“Kalau otak kita jalan terus, mikir terus, tubuh kita tidak akan bisa masuk ke fase rileks, apalagi masuk ke fase tidur dan fase tidur lelap. Terutama yang kita pikirkan adalah hal-hal yang mengkhawatirkan, yang kita cemaskan,” jelas dia.

 

Menurut Tara, penting bagi orang-orang yang sulit tidur untuk memeriksa apa yang dipikirkan sebelum tidur. Tara juga menyarankan untuk mempersilakan diri kita untuk beristirahat dengan menginstruksikan diri sendiri untuk beristirahat dan tidak bereaksi kepada hal-hal yang mengkhawatirkan.

 

Lantas, apa kiat mudah untuk mengatasi kecemasan? Erwin Parengkuan punya kiat tersendiri untuk mengatasi kecemasannya. Erwin mengatakan, membaca buku adalah salah satu cara baginya untuk membuka kunci keterbatasan dirinya. Akan tetapi, dia tak lagi membaca buku tentang cerita sukses seseorang. Menurutnya, buku dengan jenis tersebut sudah sangat mudah ditebak alurnya yaitu cerita dari mulai susah, berusaha, bertahan, dan sukses.

 

“Buku-buku yang saya baca saat ini lebih ke neuroscience, buku-buku psikologis, dan buku-buku tentang kepemimpinan. Saya belajar banyak sekali dari fungsi otak manusia. Semua itu belajar dari isi kepala kita,” jelas Erwin.

 

Dari buku pula dia belajar menghubungkan antara pikiran, perasaan, dan tubuh kita. Erwin yang sebelumnya merasa sering berpikir berlebihan dan suka berekspektasi tinggi, merasa lebih bisa menyeimbangkan diri setelah belajar menghubungkan ketiga hal itu.

 

“Saya perlu melepaskan itu dan berdamai dengan diri saya. Yang saya fokuskan itu potensi saya dan pengalaman-pengalaman saya. Itu yang saya kejar saya. Jadi kalau ketemu orang yang  nyeleneh juga saya biarkan saja,” jelas Erwin.

alphacolor/unsplash

Berdamai dengan Diri Sendiri

Pahami Reaksi Tubuh

Di satu sisi teman-teman harus tetap kreatif, harus tetap optimal, dan tetap produktif. Tapi di sisi lain, ada berbagai kecemasan yang kita alami termasuk kecemasan itu.

Perubahan gaya hidup akibat pandemi Covid-19 mengakibatkan berbagai dampak psikologis. Ada sebagian orang yang mudah menjalani perubahan itu, namun tak sedikit yang sulit menjalani perubahan hingga akhirnya mengalami masalah untuk menjalani hidup itu sendiri.

 

Bagi yang tak mudah menjalankan hidup setelah pandemi, mereka mulai bersahabat dengan rasa lelah, frustrasi, dan juga sedih. Terlebih bagi mereka yang tak bisa bekerja keluar rumah, akibat pembatasan-pembatasan yang ada.

 

Dampak pandemi Covid 19 berkepanjangan menjadi tantangan permasalahan kesehatan mental akan semakin berat untuk diselesaikan. Menurut Organisasi Pendanaan untuk Anak-anak PBB (Unicef) secara global dalam laporan The State of the World’s Children 2021, satu dari lima anak muda responden usia 15-24 tahun menyatakan sering merasa depresi yang berdampak pada rendahnya minat untuk berkegiatan.

 

Sementara itu 29 persen anak muda di Indonesia sering merasa tertekan atau memiliki sedikit minat untuk melakukan kegiatan. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyatakan sebanyak 68 persen dari 1.522 responden mengaku mengalami gangguan kecemasan.

 

Generasi muda yang didominasi oleh generasi milenial dan Z memiliki karakter yang unik yakni idealis, kompetitif, aktualisasi diri yang tinggi, dan ambisius. Pendiri dan CEO dari TalkInc, institusi pendidikan yang berfokus pada pengembangan keahlian berkomunikasi,  Erwin Parengkuan, menyebutkan mereka adalah generasi yang penuh kreativitas dan ide-ide besar karena keunikan karakteristiknya.

 

“Mereka punya tantangan tersendiri yakni adanya krisis dari dalam diri sehingga menimbulkan rasa kecemasan. Situasi ini diperberat dengan adanya pandemi Covid-19 berkepanjangan, sehingga berdampak pada kehidupan mereka sehari-hari,” kata Erwin.

Lepaskan diri

dari kecemasan

Jika kita tidak melihat kecemasan sebagai pengingat, maka kita akan bereaksi berlebihan. Kita pun lebih melihat kecemasan adalah sesuatu yang nyata yang akan terjadi. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk terus berpikir bahwa cemas itu hanyalah sebuah pengingat.

Pada saat tubuh berada pada mode bertahan hidup, tubuh akan terdorong untuk bereaksi tiga hal yang bertujuan untuk melindungi diri kita. Apa sajakah itu?